Permasalahan Banjir serta Upaya Meminimalisir Banjir dengan Sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)
Banjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang terjadi akibat intensitas curah hujan yang tinggi di mana terjadi kelebihan air yang tidak tertampung oleh suatu sistem. Banjir merupakan peristiwa bencana yang menyebabkan daratan tenggelam dikarenakan volume air yang terus-menerus meningkat. Salah satu upaya untuk meminimalisir terjadinya banjir yaitu dengan sistem pemanenan air hujan (rainwater harvesting). Penulisan artikel ini dengan menggunakan metode study pustaka, yang didasarkan dengan beberapa pilihan jurnal yang relevan dengan topik yang di bahas. Teknologi pemanenan air hujan adalah suatu upaya teknologi secara langsung berupa suatu alat atau sarana untuk menampung air hujan agar tidak langsung menjadi air limpasan yang mengakibatkan banjir. Teknologi pemanenan air hujan dapat bermanfaat untuk meminimalisir terjadinya banjir sekaligus mencegah terjadinya kekurangan air akibat kekeringan.
Kata kunci : Banjir, Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting), Sterilisasi Air.
A. PENDAHULUAN
Banjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang terjadi akibat intensitas curah hujan yang tinggi di mana terjadi kelebihan air yang tidak tertampung oleh suatu sistem (Suripin, 2014 dalam Santoso, 2019) Saat ini, banyak sekali wilayah Indonesia yang tidak terbebas dari banjir. Baik diperkotaan atau di pedesaan. Banjir yang terjadi bukan hanya berdampak pada wilayah dimana terjadinya banjir, tetapi juga berdampak pada wilayah-wilayah sekitar banjir. Dampak yang ditimbulkan akibat banjir sangat beragam, mencakup beberapa aspek kegiatan manusia seperti kesehatan, sosial, pendidikan hingga perekonomian. Penyebab banjir antara lain saluran-saluran pembuangan air serta sungai tidak lancar alirannya sehingga mengakibatkan luapan air sungai, kurangnya kesadaran manusia untuk tidak membuang sampah ke aliran air, dan berkurangnya lahan terbuka yang berguna untuk resapan air. (Elsie et.al, 2017)
Banjir merupakan peristiwa bencana yang menyebabkan daratan tenggelam dikarenakan volume air yang terus-menerus meningkat. Masyarakat biasanya mengait-ngaitkan bencana banjir disebabkan oleh hujan. Padahal, penyebab utama banjir bukan serta-merta karena hujan, melainkan manusia sendiri yang kurang baik dalam mengelola air hujan yang turun dari hulu dan kemudian berlanjut ke hilir. Pembuatan dan perbaikan drainase yang begitu besar juga membuat jalan air hujan ke hilir semakin cepat. Semakin baik sistem drainase di suatu tempat, semakin besarlah kemungkinan terjadinya banjir yang akan terjadi di bagian hilirnya. Akibatnya adalah terjadi kekeringan di beberapa bagian daratan Indonesia saat musim kemarau. Drainase ramah lingkungan belakangan ini juga digencarkan ditegaskan ke masyarakat, namun belum mengupayakan masyarakat untuk paham betul mengenai slogan drainase yang ramah lingkungan, yakni TRAP (tampung, resapkan, alirkan, dan pelihara). (Franchitika, 2019)
Banjir adalah suatu peristiwa yang terjadi akibat menumpuknya air yang jatuh dan tidak dapat ditampung oleh tanah. Peristiwa ini karena air yang jatuh ke daratan tidak memiliki daerah tangkapan. Untuk itu dalam mengatasi masalah banjir tidak hanya melalui parit-parit drainase saja, tetapi juga memperbanyak daerah-daerah tangkapan air (water reservoir). (Yohana, 2017). Alternatifnya yaitu dengan Memanen air hujan merupakan bentuk bagian dari drainase yang ramah lingkungan. Air hujan dapat di tampung untuk dipakai kebutuhan sehari-hari. Manfaat dari memanen air hujan adalah untuk meminimalisir kebanjiran sekaligus meminimalisir kekeringan, dan bahkan meminimalisir masalah lingkungan. (Franchitika, 2019)
Pemanenan atau pemanfaatan air hujan merupakan serangkaian kegiatan mengumpulkan, menggunakan, dan/atau meresapkan air hujan ke dalam tanah. Air hujan merupakan salah satu sumber air yang dapat diakses secara langsung yang dapat di gunakan untuk berbagai keperluan, termasuk menambah sumber pasokan air lainnya di daerah perkotaan. Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting) biasanya mudah diterapkan, memiliki biaya pelaksanaan dan perawatan yang relatif rendah, dan oprasinya tidak memerlukan pelatihan khusus. (Ndiritu et al, 2014)
Teknologi panen hujan adalah suatu upaya teknologi secara langsung berupa suatu alat atau sarana untuk menampung air hujan agar tidak langsung menjadi air limpasan yang mengakibatkan banjir. Beberapa negara sudah memanfaatkan panen hujan melalui atap bangunan atau rumah untuk memenuhi kebutuhan air seperti Australia, Canada, Denmark, Jerman, India, Jepang, New Zealand, Thailand, dan Amerika (Heryani et al, 2013; Despins et al, 2009; Evans et al, 2006; Uba dan Aghogo, 2000). Berdasarkan hal tersebut teknologi pemanenan air hujan dapat bermanfaat untuk meminimalisir terjadinya banjir sekaligus mencegah terjadinya kekurangan air akibat kekeringan.
B. METODE
Metode yang di gunakan dalam pengumpulan data ini menggunakan metode study pustaka, yaitu metode pengumpulan data yang diarahkan kepada pencarian dokumen-dokumen. Pencarian artikel dilakukan dengan menuliskan kata kunci ilmiah pada situs jurnal nasional atau internasional. Pemilihan jurnal dengan mengidentifikasi kelayakannya serta kesesuaiannya dengan topik yang di bahas. Tahap selanjutnya yaitu memahami dan menganalisis jurnal yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan kesimpulan hasil penelitian yang kemudian untuk dibuat artikel. Penulisan artikel ini menggunakan sumber jurnal utama dan jurnal pendamping.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Banjir
Banjir merupakan peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Selain itu, terjadinya banjir juga dapat disebabkan oleh limpasan air permukaan (run off) yang meluap dan volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase atau sistem aliran sungai. Terjadinya bencana banjir juga disebabkan oleh rendahnya kemampuan infiltrasi tanah, sehingga menyebabkan tanah tidak mampu lagi menyerap air. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang diatas normal, perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat, terhambatnya aliran air di tempat lain (Sebastian Ligal, 2008; Idati et al, 2020).
Berdasarkan jurnal dari Findayani (2015) bahwa Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi, yang berkisar antara 2000-3000 mm/tahun, sehingga banjir mudah terjadi selama musim hujan, yang antara bulan Oktober sampai Januari. Ada 600 sungai besar yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang kondisinya kurang baik dan tidak dikelola dengan baik sehingga menyebabkan banjir. Di sisi lain, banjir pesisir adalah banjir yang disebabkan oleh air laut pasang yang membanjiri daratan, adalah masalah yang terjadi di daerah yang lebih rendah dari permukaan laut.
Klasifikasi banjir
Bedasarkan Ferad Puturuhu (2015) daalam jurnal Sudirman et al (2017) bahwa Banjir dapat diklasifikasikan berdasarkan : sumber air, mekanisme, posisi dan berdasarkan aspek penyebabnya, sebagai berikut :
Klasifikasi banjir berdasarkan sumber air yang menjadi penampung di bumi, pendapat dibedakan menjadi tiga, yaitu : (1) Banjir sungai; terjadi karena air sungai meluap; (2) Banjir danau; terjadi karena air danau meluap atau bendungannya jebol; (3) Banjir laut pasang; terjadi antara lain akibat adanya badai dan gempa bumi.
Klasifikasi banjir berdasarkan mekanisme terjadinya yaitu: (1) Banjir biasa (regular); banjir regular terjadi akibat jumlah limpasan yang sangat banyak sehingga melampaui kapasitas dari pembuangan air yang ada (existing drainage); (2) Banjir tidak biasa (irregular); banjir irregular terjadi akibat tsunami, gelombang pasang, atau keruntuhan dam (dam break).
Klasifikasi banjir berdasarkan posisi sumber banjir terhadap daerah yang digenanginya, banjir dapat dibedakan menjadi : (1) Banjir lokal; banjir lokal didefinisikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh hujan lokal; (2) Banjir bandang (flash flood); banjir bandang dapat diartikan banjir yang diakibatkan oleh propagasi limpasan dari daerah hulu pada suatu daerah tangkapan.
Klasifikasi banjir berdasarkan aspek penyebabnya, jenis banjir yang ada dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis yaitu: (1) Banjir yang disebabkan oleh hujan yang lama, dengan intensitas rendah (hujan siklonik atau frontal) selama beberapa hari; (2) Banjir karena salju yang mengalir, terjadi karena mengalirnya tumpukan salju dan kenaikan suhu udara yang cepat di atas lapisan salju; (3) Banjir bandang (flash flood), disebabkan oleh tipe hujan konvensional dengan intensitas yang tinggi dan terjadi pada tempat-tempat dengan topografi yang curam di bagian hulu sungai; (4) Banjir yang disebabkan oleh pasang surut atau air balik (back water) pada muara sungai atau pada pertemuan dua sungai.
Faktor Penyebab Banjir
Menurut jurnal Ardana (2016) yang menjadi faktor penyebab banjir secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab–sebab alami dan banjir yang disebabkan oleh tindakan manusia. Adapun banjir yang disebabkan oleh faktor alam, seperti : Curah hujan, Pengaruh fisiografi, Erosi dan sedimentasi, Kapasitas drainase yang tidak memadai. Adapun menurut Darmawan (2017) bahwa Faktor-faktor alam yang mempengaruhi banjir antara lain faktor meteorologi (intensitas curah hujan, distribusi curah hujan, frekuensi dan lamanya hujan berlangsung) dan karakteristik daerah aliran sungai (kemiringan lahan/kelerengan, ketinggian lahan, testur tanah dan penggunaan lahan. Sedangkan banjir yang disebabkan oleh manusia, seperti : Perubahan kondisi daerah aliran sungai, Wilayah kumuh, Sampah, dan Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat
Dampak Banjir
Berdasarkan Robert (2013) dalam jurnal Hendri (2016) Dampak banjir terjadi pada beberapa aspek diantaranya: 1) Aspek Penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi. 2) Aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan. 3) Aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat. 4) Aspek Sarana/Prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi. 5) Aspek Lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.
2. Sistem Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)
Pemanenan air hujan adalah suatu upaya atau teknologi untuk menampung air hujan agar tidak langsung menjadi air limpasan yang mengakibatkan banjir. Air hujan dapat dimanfaatkan yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menampung agar dapat di gunakan kembali, kegiatan yang demikian disebut dengan pemanenan air hujan. (Ardana, 2016) Sistem pemanenan air hujan (PAH) merupakan tindakan atau upaya untuk mengumpulkan air hujan yang jatuh pada bidang tadah diatas permukaan bumi, baik berupa atap bangunan, jalan, halaman, dan untuk skala besar berupa daerah tangkapan air (kementrian pekerjaan umum, 2014: Ali et al, 2017).
Menurut UNEP (2001) dalam Anie (2011) menunjukkan bahwa sistem pemanenan air hujan yang dapat diterapkan adalah :
Pemanenan air hujan sistem atap (roof system)
Sumber gambar: jurnal Ardana et al, 2016
Sistem atap (roof system) yaitu Menggunakan atap rumah sebagai bentuk pemanenan air hujan secara individual memungkinkan air yang akan terkumpul tidak terlalu signifikan, akan tetapi jika diterapkan secara massal maka air yang akan terkumpul sangat melimpah. Menurut jurnal Ardana (2016) bahwa Sistem pemanenan air hujan secara umum memiliki komponen-komponen dasar yaitu permukaan atap sebagai daerah tangkapan air hujan, talang/gutter sebagai saluran pengumpul air hujan, pipa turun/downspout sebagai penyalur air hujan menuju tangki penampung, saringan/filter sebagai komponen penghilang kotoran dari air yang ditangkap sebelum air hujan masuk ke dalam penampungan, bak unit penampung/tangki sebagai wadah penampung hasil panen air hujan, dan pompa air sebagai alat untuk memberikan tekanan/dorongan pada air saat di gunakan. (Ardana, 2016)
Pemanenan air hujan sistem permukaan tanah (land surface catchment areas)
Sumber gambar: jurnal Ardana et al, 2016
Sistem permukaan tanah (land surface catchment areas), Menggunakan sistem permukaan tanah merupakan metode yang sangat sederhana untuk mengumpulkan air hujan.Dibanding dengan sistem atap, pemanenan air hujan dengan sistem permukaan tanah ini lebih banyak mengumpulkan air hujan dari daerah tangkapan yang lebih luas. Air hujan yang terkumpul dengan sistem ini lebih cocok digunakan untuk pertanian, karena kualitas air yang rendah. Air dapat ditampung dalam embung atau danau kecil. Pemanenan air hujan dengan sistem permukaan tanah dapat diterapkan melalui sumur resapan dan lubang resapan biopori.
Sistem pemanenan hujan terdiri dari beberapa sub - sistem yaitu: areal penangkap hujan (collection area), saluran yang mengalirkan air hujan dari areal penangkap hujan ke tangki penyimpanan (conveyance), filter, reservoir (storage tank), saluran pembuangan, dan pompa. Area penangkapan air hujan (collection area) merupakan areal penangkapan air hujan dan efisiensi pengumpulan dan kualitas air hujan dipengaruhi bahan penangkap air hujan. Bahan-bahan yang digunakan untuk permukaan tangkapan hujan sebagusnya yang tidak beracun dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menyebabkan buruknya kualitas air hujan. Umumnya bahan yang digunakan yaitu bahan anti karat seperti alumunium, besi galvanis, beton, fiber-glass shingles, dll.
Keunggulan memanen air hujan
Keunggulan dari penerapan sistem pemanenan air hujan adalah: 1) air hujan adalah sumber dari semua air. Seluruh sumber air baik air permukaan maupun air tanah berasal dari air hujan. PAH harus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk suplai air untuk sistem pemasok air yang baru maupun yang telah ada sebelumnya. 2) Pengelolaan terdesentralisasi (bukan sentralisasi). Secara umum sistem penyediaan air telah di dasarkan pada sistem terpusat, dimana air ditampungan, diolah dan didistribusikan dalam skala besar. Untuk mengurangi biaya dan kebutuhan energi sebaiknya sistem dikelola secara terdesentralisasi. Apabila kita menerapkan PAH pada sistem pemasok air skala besar yang sudah ada, kita akan menciptakan struktur pengelolaan air yang lebih flexibel dan aman. 3) Pengendalian sumber. Air baku yang diambil di sungai dapat mengandung kekeruhan ataupun kontaminan terlarut yang harus di kurangi dengan proses pengolahan, yang membutuhkan energi dan biaya tambahan. Di PAH kita mengumpulkan air di dekat jatuhnya hujan dimana kita dapat memelihara kualitas air yang baik dengan pengolahan yang relatif sedikit. Keuntungan lainnya dari mengurangi volume limpasan dengan menyimpan langsung atau infiltrasi adalah berkurangnya ancaman banjir. 4) keterlibatan aksi lokal, pemanenan air hujan melibatkan banyak proyek skala kecil di tingkat lokal, ketimbang sebuah proyek besar, proyek daerah terpencil, dan dengan demikian melibatkan banyak stakeholder. Oleh karena itu, keterlibatan dan dukungan dari masyarakat setempat, pendidikan, dan kesadaran publik sangatlah penting. 5) pengelolaan air hujan multi fungsi (bukan tujuan tunggal), pemanenan air hujan tidak hanya bisa menampung dan menggunakan kembali. Namum, dapat mengurangi air limpasan dan membantu recgharge air tanah. (Ardana et al. 2016)
3. Sterilisasi air hasil pemanenan air hujan sehingga layak minum
Sumber gambar: Jurnal Heryani et al, 2013
Menurut Jurnal Heryani (2013) Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mensterilkan air yang ditampung jika akan digunakan sebagai air minum, yaitu dengan cara: (1) mendidihkan air selama 1 menit untuk membebaskan dari bakteri atau pathogen, (2) penyaringan untuk menyaring partikel-partikel atau materi yang terbawa pada saat penampungan (Daschneret al., 1996 dalam Ahmed, 2011; Jordan et al., 2008), (3) memanaskan, air hujan dengan cahaya matahari untuk membunuh bakteri berbahaya dengan cara memanaskan di dalam wadah gelas tembus pandang selama kurang lebih 4-6 jam seperti dilakukan di China (Gambar a), 4) SODIS (Solar Water Disinfection) (Gambar b) dengan cara memanaskan air hujan di dalam botol gelas/plastik tembus pandang dengan sinar matahari terik selama 6 jam atau 2 hari jika cuaca sangat berawan. Air sebaiknya disimpan dulu selama satu malam sebelum diminum. Menurut Setiawan (2010) waktu yang efektif dalam menurunkan jumlah kuman E.coli ialah pada waktu penyinaran jam 10.00-15.00, lama waktu penyinaran selama 5 jam dengan intensitas sinar matahari sebesar 706,5 Lux/100, dapat menurunkan kuman dari 3027,5/100 ml menjadi 0/100 ml.
D. SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Banjir merupakan peristiwa dimana daratan yang biasanya kering menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Banjir adalah suatu peristiwa yang terjadi akibat menumpuknya air yang jatuh dan tidak dapat ditampung oleh tanah. Peristiwa ini karena air yang jatuh ke daratan tidak memiliki daerah tangkapan. Untuk itu dalam mengatasi masalah banjir tidak hanya melalui parit-parit drainase saja, tetapi juga memperbanyak daerah-daerah tangkapan air (water reservoir). Salah satu alternatifnya yaitu dengan Pemanenan air hujan yaitu suatu upaya atau teknologi untuk menampung air hujan agar tidak langsung menjadi air limpasan yang mengakibatkan banjir. Air hujan dapat dimanfaatkan yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menampung agar dapat di gunakan kembali, kegiatan yang demikian disebut dengan pemanenan air hujan. Keunggulan dari sistem pemanenan air hujan selain untuk meminimalisir banjir juga untuk meminimalisir kekurangan air akibat kekeringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar